Senin, 24 Januari 2011

Peran Bidan dalam Menciptakan Persalinan Tanpa Episiotomi


Created by: Dewi Susanti

BAB I PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang
Bidan meyakini bahwa melahirkan merupakan suatu pengalaman yang mendalam, memberi makna yang berarti bagi wanita, keluarga dan masyarakat. Bidan juga memiliki keyakinan dan kepercayaan, dalam menghormati perempuan akan kemampuan mereka dalam melahirkan. Perempuan adalah pengambil keputusan utama dalam perawatan dan ia memiliki hak untuk informasi yang akan meningkakan kemampuanya dalam pengambilan keputusan (ICM, 2002).
Menurut Reva Rubin, periode post partum menyebabkan stress emosional terhadap ibu baru, bahkan lebih menyulitkan bila disertai dengan perubahan fisik yang hebat, dalam hal ini bidan harus mampu menciptakan suatu proses persalinan yang alami dengan kemungkinan trauma seminimal mungkin, termasuk tindakan episiotomi.
Nyeri pasca episiotomi menyebabkan kemampuan mobilitas ibu lebih sedikit, dan memicu timbulnya stress post partum sehingga proses pencapaian peran menjadi ibu terhambat, banyak ibu-ibu dengan episiotomi mengalami keterlambatan dalam menyusui bahkan tidak menyusui sama sekali (Indiana Perinatal educators Conference, 2010).
Episiotomi adalah sebuah tindakan pemotongan/ pengguntingan perineum untuk memperbesar pembukaan vagina selama kelahiran. Persepsi yang keliru tentang episiotomi menyebabkan tindakan episiotomi sering dilakukan secara rutin dengan alasan lebih mudah dijahit, resiko kehilangan darah lebih sedikit, dan penyembuhan lebih cepat.
Berdasarkan penelitian yang mulai dilakukan terhadap episiotomi sejak tahun 1970, didapatkan bukti bahwa praktik episiotomi secara rutin tanpa indikasi yang jelas, menimbulkan resiko yang justru sebaliknya dari persepsi awal tentang episiotomi. Episiotomi rutin tanpa indikasi akan memberikan efek jangka pendek maupun jangka panjang seperti terjadinya laserasi derjat III dan IV, perdarahan lebih banyak, penjahitan lebih sulit, menurunnya kekuatan otot  perineum (kulit, otot antara vagina dan anus) sehingga menyebabkan terjadinya incontinensia dan dispareunia.
Meskipun praktik episiotomi secara rutin sudah mulai berkurang dalam 20 tahun terakhir, tetapi masih banyak ditemukan tenaga kesehatan (Dokter dan bidan) yang melakukan episiotomi dengan indikasi bayi besar (berat kurang 4000 gr), dan perineum kaku padahal sesungguhnya kedua hal tersebut bukan indikasi mutlak untuk dilakukan episiotomi.
Banyak upaya yang dapat dilakukan bidan dalam menciptakan persalinan tanpa episiotomi melalui antenatal care dan saat pertolongan persalinan dimana bidan harus mempunyai keyakinan bahwa minimal interevensi merupakan asuhan sayang ibu yang harus diterapkan bidan dalam setiap praktiknya.
Pada periode antenatal care bidan dapat menciptakan elastisitas perineum ibu melalui latihan fisik dan pijat perineum. Pada saat pertolongan persalinan bidan harus mampu dengan cermat menilai kondisi ibu dan tidak memanipulasi persalinan dengan percepatan kala II sehingga resiko episiotomi dan ruptur perineum belebihan bisa dihindarkan.

B.   Tujuan
Untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan bidan dalam menciptakan suatu persalinan tanpa episiotomi.

C.   Lingkup Bahasan
1.      Tinjauan kasus episiotomi
2.      Konsep dasar episiotomi
3.      Menciptakan persalinan tanpa episiotomi.























BAB II TELAAH PUSTAKA


A.   Telaah Kasus
1. Praktik Episiotomi dan Konsekuensinya
Episiotomi sudah dilakukan sejak tahun 1920. Di Israel episiotomi merupakan tindakan rutin yang berpedoman kepada teori-teori sebelumnya yang diyakini oleh praktisi kesehatan, tahun 2000 keyakinan ini dibantahkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Thacker & Banta 1983, Eason et all 2000) dengan teknik Randomize Control Trial (RCT) Dan  artikel review oleh Carroli dan Belizan (2000) menyimpulkan bahwa, bertentangan dengan manfaatnya disarankan, episiotomi sebenarnya meningkatkan kerusakan perineum, membutuhkan waktu lebih lama untuk menyembuhkan, tidak mencegah kerusakan otak janin bahkan pada bayi prematur, juga tidak mencegah efek  jangka panjang peregangan otot dasar panggul, cystocele, rectocele, stres inkontinensia urin atau prolaps rahim, dan ketidak puasan seksual baik pria atau wanita setelah melahirkan.
Selain tidak memiliki dukungan berbasis bukti terhadap episiotomi rutin, resiko tambahan yang terjadi adalah perdarahan lebih banyak, nyeri post partum lebih besar, gangguan hubungan seksual (Wagner 1999). Episiotomi dikaitkan dengan resiko laserasi derjat III dan IV/ robekan sampai ke anus (Shiono et all 1990, Sultan et  all 1993, Klein et all 1994, Labrecque et all 1997, Signorello et all 2000). Martin et all (2001), dalam studi retrospektif kohort pada 3769 wanita, menemukan bahwa resiko robek pada kelahiran kedua lebih tinggi pada wanita dengan episiotomi sebelumnya  (45%) dibandingkan pada wanita dengan laserasi derjat II spontan  selama kelahiran pertama (36%). Penelitian menyimpulkan bahwa menghindari episiotomi, disamping menurunkan resiko laserasi perineum/ mempertahankan perineum tetap utuh, juga mengurangi keparahan trauma perineum pada kelahiran selanjutnya.
Infeksi perineal dan tingkat abses, sebagian besar akibat dari episiotomi yang memperpanjang sampai ke jaringan anus, sebanyak 0,5-3,0% dari semua episiotomi (Thacker & Banta 1983), Mengambil perspektif secara internasional dilaporkan secara substansial di Inggris selama 10 terakhir
tahun (Departemen Kesehatan 2002).
Melaporkan kejadian episiotomi di AS adalah 39,3% kelahiran tahun 1998 (Curtin & Martin 1999). Di Israel, probabilitas seorang wanita mendapatkan tindakan episiotomi adalah umum, meskipun telah menurun selama dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 1990, tingkat episiotomi di Rumah Sakit Hadassah Ein Kerem di Yerusalem adalah 91% untuk Kelahiran pertama dan 51% pada umumnya. Pada tahun 2000, 51% untuk Kelahiran pertama dan 23% secara keseluruhan.
Tahun 1995 Institut Brookdale Nasional Survey, berdasarkan sampel pasien bersalin secara proporsional disemua kawasan Israel, ditemukan 81% episiotomi rutin pada kelahiran pertama dan 54% episiotomi pada semua tingkat (Zalcberg et al 1999) Saat ini, 99,9% kelahiran di Israel dilakukan dirumah sakit dan 0,1% adalah persalinan dirumah.

2. Menciptakan persalinan tanpa episiotomi
a. Masa Kehamilan
Penggunaan EPI-NO (seperangkat alat yang terdiri dari balon karet silikon terhubung dengan pompa tangan yang dirancang untuk melebarkan vagina dengan tujuan adaptasi vagina dan perineum pada waktu persalinan) ibu hamil dapat melatih otot-otot panggul sehingga mampu mengembangkan perasaan untuk mendorong janin selama  proses persalinan. Berdasarkan hasil uji secara retrospektif, tidak hanya menurunkan secara signifikan kejadian trauma perineum (42%) dan tingkat episiotomi lebih rendah (33%) tetapi juga penurunan yang signifikan penggunaan analgetik selama proses persalinan, kecemasan ibu selama proses persalinan dan lamanya kala II.
Penggunaan perangkat EPI-NO direkomendasikan digunakan sejak kehamilan 35-37 minggu. Pengunaan perangkat  EPI-NO secara efektif mampu mengurangi kejadian trauma perinemum meskipun pada janin dengan berat              ≥ 4000gr. Sebelum penggunaan perangkat ini ibu hamil harus melakukan test terhadap PH vagina dan smear B streptococcus group.
Selain pengunaan EPI-NO, teknik-teknik lain seperti pijat perineum (sebelum dan selama persalinan, mandi whirlpool/ air hangat, pemberian lubrikasi pada perineum juga dianjurkan untuk mencegah episiotomi).
Di Israel sudah diterapkan penggunaan dilator perineum sebelum melahirkan. Dilator perineum ini berupa silikon perineum tiup dalam upaya untuk menghindari trauma perineum saat lahir dalam lingkungan kelahiran rutin untuk melakukan episiotomi, ibu hamil dapat berlatih dengan menggunakan dilator ini dalam beberapa minggu sebelum persalinan dimulai. Perangkat ini dimasukkan ke dalam vagina oleh ibu hamil wanita itu sendiri, dipompa dan mendorong keluar, setiap hari di sesi latihan 10 menit selama minggu 37-40 kehamilan.
Hasil yang dimaksud adalah dengan peregangan perineum sebelum persalinan untuk mencegah trauma perineum selama proses persalinan, pada awalnya alat ini memang menimbulkan pro kontra, namun setelah dilakukan penelitian. Menunjukkan bahwa pengguna dilator perineal memiliki tingkat episiotomi lebih rendah, sebagian besar ibu hamil juga   melaporkan peningkatan kepercayaan diri dalam kemampuan mereka untuk lahir dan meningkatkan  sensasi mendorong pada kelahiran. Di Uganda praktik penggunaan dilator perineum tiup ini sudah diterapkan oleh para bidan praktik.
Pijat perineum terbukti efektif untuk mencegah laserasi perineum, hal ini disebabkan pijat yang dilakukan secara rutin oleh ibu hamil sejak kehamilan 34 minggu, meningkatkan elastisitas perineum sehingga mampu mengakomodasi kelahiran bayi tanpa menimbukan trauma pada perineum.
Hasil penelitian, elastisitas perineum tampaknya meningkatkan paling dramatis dalam 2 sampai 3 minggu yakni pijat, ini dipertahankan tetapi tidak mengalami peningkatan signifikan pijat terus melalui minggu yang tersisa. Jadi mungkin untuk memulai pijat perineum lebih dekat dari enam minggu sebelum kelahiran dengan hasil yang sama. Selain pijat perineum, bidan dan pendidik melahirkan merekomendasikan beberapa teknik lain untuk mengurangi kebutuhan akan episiotomi. Ini termasuk penggunaan latihan kegel, sering jongkok kondisi perineum (Zacharin, 1977), kompres panas untuk perineum selama persalinan tahap kedua, dan pijat minyak hangat perineum selama persalinan. Namun, bahkan di pusat-pusat melahirkan di mana teknik ini digunakan secara teratur, hanya 15 % mengalami episiotomi (Eisenberg dkk, 1991).

b. Pada Proses Persalinan
Pada saat proses persalinan, penggunaan gel/ jelly terbuti efektif menurunkan resiko laserasi perineum. Dari penelitian yang melibatkan wanita primipara, resiko rendah dengan persalinan letak vertek 228 wanita dipilih secara acak menggunakan jelly secara intermitten mulai dari pembukaan 4 cm diberikan jeli setiap indikasi pemeriksaan dalam sampai proses kelahirkan, diperoleh hasil bahwa menurunkan resiko laserasi perineum dan memperpendek kala II selama 26 menit.
Keterampilan bidan dalam menangani persalinan akan memberikan pengaruh terhadap kondisi pasien dan pemulihan post partum, bidan yang terampil akan mampu menilai indikasi-indikasi yang memerlukan tindakan episiotomi, kemampuan bidan secara kritis dalam mengambil keputusan dan tindakan terbaik untuk pasien. Bidan yang terampil baik dalam menilai kondisi pasien akan mampu mengambil keputusan terbaik untuk pasiennya. Episiotomi dalam persalinan bukan merupakan tindakan rutin tetapi merupakan tindakan yang dilaksanakan berdasarkan indikasi.

B.   Telaah Teori
1.    Episiotomi
Episiotomi adalah suatu tindakan pemotong/ pengguntingan perineum dengan tujuan memperluas jalan lahir.
        Tujuan Episiotomi
a.    Mengurangi tekanan terhadap kepala bayi sehingga mengurangi terjadinya asfiksia akibat kekurangan O2
b.    Mengurangi hambatan persalinan oleh perineum, jika elastisitasnya tidak mendukung proses persalinan
c.     Dapat mempercepat kala pengeluaran kepala sehingga mengurangi kemungkinan asfiksia
d.    Memperluas dan memperpendek jalan lahir lunak sehingga persalinan dapat dipercepat

Keuntungan Episiotomi
a.    Perlukaan teratur sehingga memudahkan untuk menjahit kembali
b.    Luas insiasi episiotomi dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.

Kerugian Episiotomi
a.    Mungkin tidak diperlukan karena elastisitas perineum baik
b.    Pada primigravida sebagian besar terjadi robekan spontan yang tidak teratur sehingga melakukan adaptasinya lebih sulit saat menjahitnya.

Episiotomi pada primigravida, kejadiannya antara 0-95%, sedangkan pada multigravida lebih kecil karena jaringan perineum sudah semakin elastis. Dalam beberapa kasus, perlu ditetapkan indikasi untuk melakukan episiotomi sebagai berikut:
a.       Hampir pada semua primigravida inpartu, jika dijumpai crowning kepala tidak seimbang dengan elastisitas perineum
b.       Pada semua persalinan letak sungsang yang dilakukan per vaginam untuk memudahkan persalinan kepala bayi yang lebih besar
c.        Pada semua persalinan prematur yang dilakukan per vaginam sehingga tekanan pada kepala semakin berkurang dan persalinan makin cepat berlangsung
d.       Pada tindakan operasi per vaginam obstetri
e.       Pada distosia yang disebabkan oleh kurangnya elastisitas perineum.
Teknik Menjahit Luka Episiotomi
         Menjahit kembali luka episiotomi dengan total ruptur sampai rectum, merupakan teknik menjahit yang paling sulit. Ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.       Menjahit mukosa rectum
1)         Jahitan mukosa rectum sedemikian rupa sehingga epitelnya melipat ke dalam lumen. Ini untuk menghindari:
a)          Infeksi sekunder karena feses
b)          Terjadinya fistula
2)         Dipergunakan benang catgut nomor: 2/0-3/0
3)         Lapisan kedua di atas mukosa untuk menguatkan jahitan pada mukosa dan menghindari fistula dan infeksi
b.     Menjahit sfinger ani eksterna:
1)          Kedua ujung sfingter yang putus dipegang dengan klem allis diadaptasikan dan dijahit menggunakan benang 2/0 kromik catgut atau vikril nomor 0
2)          Lapisan kedua jaringan perineum, dijahit untuk memperkuat jahitan pada sfingter ani dan mukosa rektum.
c.      Menjahit dinding vagina
1)          Jahitlah terlebih dahulu hymen dengan kromik catgut nomor 2/0 seutuhnya sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk menjahit kea rah vagina dan ke arah perineum
2)          Vagina dijahit berlapis dan tidak terlalu  ketat sehingga sirkulasi tidak terganggu
3)          Jahitan dapat secara simpul atau jelujur
d.     Jahitan pada perineum
1)          Dengan jahitan himen sebagai batas untuk adaptasi anatomis, jahitan pada perineum tidak akam mengalami kesulitan
2)          Setelah mencapai sfingter ani eksterna, jahitan diambil agak dalam sebagai jahitan penyangga dan untuk memperkuatnya.
Komplikasi yang umumnya terjadi pada episiotomi, adalah:
a.    Kehilangan darah
1)          Pada episiotomi mediolateral
2)          Melakukan episiotomi terlalu dini, sedangkan persalinan masih jauh
3)          Perdarahan merembes yang tidak diketahui sehingga menimbulkan hematoma lokal.
b.    Infeksi
1)          Lokal akibat terkontaminasi dengan feses atau urin
2)          Infeksi sekunder
3)          Dapat terjadi jahitan terbuka kembali
c.     Dispareunia
1)          Mungkin hanya bersifat sementara, karena takut, tetapi sekitar 5% dapat menjadi permanent
2)          Dapat dilakukan psikoanalisis
d.    Libido berkurang
1)          Mungkin takut atau karena dispareunia
e.    Hematoma lokal
1)          Perdarahan merembes yang tidak didasari dapat menimbulkan hematoma
2)          Hematoma dapat menjadi sumber:
a)    Infeksi sekunder
b)    Menyebabkan terjadi luka terbuka kembali.

2.    Laserasi Perineum
Laserasi perineum adalah robekan perineum yang disebabkan oleh proses kelahiran/ persalinan baik yang disengaja atau tidak. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang terjadi pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Ruptur perineum sering terjadi pada persalinan dengan keadaan :
a.    Kepala jajnin lahir terlalu cepat
b.    Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
c.     Riwayat jahitan pada perineum
d.    Pada persalinan dengan distocia bahu.
Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arcus pubis lebih kecil dari biasanya sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih kebelakang, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia subocksipito bergmatika.
Robekan perineum dibagi menjadi 4 tingkatan (William, 2006):
e.    Derjat I:
Robekan terjadi hanya pada mukosa vagina, fourchet posterior dan kulit perineum. Penjahitan tidak diperlukan jika tidak ada perdarahan.
b. Derjat II :
Robekan mengenai mukosa vagina, fourchet posterior, kulit dan otot perineum. Diperlukan penjahitan, penjahitan ini bisa dlakukan oleh Bidan.
c. Derjat III :
Robekan mengena mukosa vagina, fourchet posterior, kulit perineum, otot-otot perineum, otot spingter ani eksternal. Penjahitan harus dilakukan dengan hati-hati, diawali dengan penjahitan dinding depan rectum, kemudian  facia per-rektal ditutup dan muskulus spingterani eksternum dijahit. Kemudian lanjutkan penjahitan untuk laserasi perineum derjat II.
d. Derjat IV :
Robekan mengena mukosa vagina, fourchet posterior, kulit perineum, otot-otot perineum, otot spingter ani eksternal dan dinding rectum anterior. Perbaikan segera dengan benang yang dapat diserap jaringan tubuh. Robekan derjat III dan IV membutuhkan perhatian khusus supaya wanita dapat mempertahankan kontinensia fecal. Apabila wanita tidak merasa nyeri, ini akan membantu penyembuhan dan hal ini dapat dibantu dengan memastikan feses wanita lunak selama beberapa hari. Dalam beberapa kasus obat anti mikroba dapat digunakan.













BAB III PEMBAHASAN


A.   Pemecahan/ Rekomendasi/ Penerapan
Tindakan episiotomi masih merupakan tindakan rutin dilakukan di rumah terutama pada primipara, meskipun pada 20 tahun terakhir tindakan episiotomi sudah mulai menurun namun masih banyak dilakukan tanpa indikasi.
Secara filisofi, bidan meyakini bahwa kehamilan, persalian dan nifas merupakan proses yang alami, bidan harus menerapkan minimal intervensi dalam setiap praktiknya, bidan harus mampu menilai apakah ada indikasi terhadp pasiennya untuk dilakukan episiotomi.
Banyak upaya yang terbukti efektif yang dapat dilakukan bidan untuk mencegah tindakan episiotomi, baik persiapan selama kehamilan maupun saat pertolongan persalinan.
Upaya-upaya tersebut dapat berupa: pengunaan dilator perineum, EPI-NO berupa silikon yang dihubungkan dengan balon karet, melatih vagina yang dapat memberikan sensasi meneran pada ibu, pijat perineum, latihan kegel, latihan jongkok-berdiri, pemberian gel/ jelly, berendam dalam air hangat dan pimpinan bersalinan yang benar.
Di Indonesia tidak semua upaya tersebut dapat diterapkan berhubungan dengan tingkat pengetahuan, kemauan, kemampuan serta budaya, bidan diharapkan memberikan informasi kepada ibu hamil terhadap pilihan-pilihan yang dapat diperkenalkan kepda ibu hamil.
Saat ini penerapan pijat perineum sudah mulai diterima di Indonesia, di bali ibu-ibu hamil telah melakukan pijat perineum dan terbukti efektif menurunkan resiko laserasi jalan lahir.
Senam kegel dan latihan jongkok-berdiri dapat diterapkan diseluruh masyarakat Indonesia. Bidan diharapakan mampu menfasilitasi latihan-latihan tersebut sehingga resiko laserasi perineum dapat dicegah.
Kelas ibu hamil dapat memfasilitasi pemberian informasi dan latihan awal terhadap persiapan perineum, ibu hamil dapat melanjutkan sendiri latihan tersebut dirumah.
























BAB IV SIMPULAN

1.    Bidan meyakini kehamilan, persalinan dan nifas merupakan proses yang normal, minimal intervensi adalah tindakan terbaik dalam praktik bidan.
2.    Episiotomi merupakan tindakan yang terbukti beresiko terhadap ibu baik resiko jangka pendek maupun jangka panjang. Diantaranya adalah: meningkatkan tingkat laseraja jalan lahir(derjat III dan IV) menimbulkan kesulitan untuk dijahit, menyebabkan kehilangan darah lebih banyak, nyeri lebih hebat, dispareunia, inkontinentia urine, incontinentia alvi, sistocel, retrocel, dan laserasi yang lebih parah pada persalinan berikutnya).
3.    Bidan harus mampu menilai apakah ibu bersalin benar-benar mempunyai indikasi untuk dilakukan episiotomi.
4.    Tindakan episiotomi dapat dicegah dengan latihan-latihan maupun persiapan yang dapat dilakukan selama kehamilan dan proses persalinan. Pengunaan dilator perineum, EPI-NO, pijat perineum, latihan kegel, latihan jongkok, pemberian gel/ jelly, berendam dalam air hangat dan bimbingan persalinan yang benar.
5.    Untuk memfasilitasi hal tersebut, kelas ibu merupakan upaya efektif yang dapat dilakukan sebagai pemberian informasi dan latihan awal terhadap persiapan perineum, ibu hamil dapat melanjutkan sendiri latihan tersebut di rumah.






DAFTAR PUSTAKA


Bahiyatun. 2007,
                Asuhan Kebidanan Nifas Normal, EGC.

Depkes RI. 2004,
                Asuhan Bersalin Normal.

J. Leveno, Kenneth. 2004,
                Obstetri Williams, EGC.

Manuaba, Ida Bagus Gedhe. 2009,
                Pengantar Kuliah Obstetri, EGC.

Purwandari, Atik. 2009,
                Konsep Kebidanan, EGC.


























DAFTAR LAMPIRAN


Nomor lampiran:

1.     Obstetric gel shortens second stage of labor and prevents perineal trauma in nulliparous women: a randomized cotrolled trial on labor facilitation

2.     Intervention Management The New Normal

3.     ICM President Opens Midwifery Symposium in Washington D.C.: Saving Lives and Promoting Health of Women and Newborns

4.     Articles and Updates: The World Need Midwives Now more Than Ever.

5.     Original Article: Prospective Randomised Multicentre Trial With The Birth Trainer EPI-NOR for the Prevention of perineal trauma.

6.     Perineal outcomes after practicing with a perineal dilator

7.     Avoid Interventions That Are Not Medically Necessary

8.     Pregnancy Massage

9.     Role of Perineal Clinic

10.            Indiana Perinatal Educators Conference: Out With the Old, In With the New




Tidak ada komentar:

Posting Komentar