Minggu, 05 Februari 2012

Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencan


PENINGKATAN PARTISIPASI PRIA DALAM KELUARGA BERENCANA
DAN KESEHATAN REPRODUKSI DI INDONESIA

Nomor : 252 - Tahun XXX - 2003 website : http://www.bkkbn.go.id ISSN : 0120-0197
Data
Program Keluarga Berencana Nasional
Latar Belakang
Sesuai dengan rekomendasi hasil Rakernas 2002 dinyatakan bahwa dalam upaya meningkatkan partisipasi pria dalam
keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, fokus utama yang perlu dilakukan adalah aktivitas advokasi kepada para pengambil kebijaksanaan. Hasil kajian dari hasil-hasil penelitian sangat bermanfaat sebagai bahan promosi/advokasi dalam upaya peningkatan partisipasi pria dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Kajian lapangan dimaksud adalah berupa telaah dari berbagai survei dan penelitian, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
Berdasarkan rekomendasi Konperensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD, 1994, di Kairo), dan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW), saat ini Indonesia telah mulai melaksanakan pembangunan yang berorientasi pada keadilan dan kesetaraan gender dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Sejalan dengan kondisi tersebut, maka upaya peningkatan partisipasi pria dalam keluarga  rencana dan kesehatan reproduksi merupakan tantangan program dimasa mendatang. Untuk itu telah disepakati partisipasi pria dalam ber-KB akan ditingkatkan menjadi 8% pada tahun 2004, sementara kondisi saat ini partisipasi  ia alam ber-KB baru mencapai 1,1%.Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi pria dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi antara lain : pengetahuan, sikap dan praktek serta kebutuhan klien, faktor  lingkungan : sosial, budaya masyarakat dan keluarga/isteri, keterbatasan informasi dan aksesibilitas terhadap  elayanan kontrasepsi pria, keterbatasan jenis kontrasepsi pria, dan lain lain.

BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL
Jakarta, 2003
Oleh sebab itu, upaya peningkatan partisipasi pria melalui advokasi perlu difokuskan pada faktor-faktor tersebut, disamping kajian-kajian terhadap pengetahuan dan sikap klien terhadap keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.

Telaah Hasil-Hasil Penelitian
Hingga saat ini Indonesia belum memiliki data yang lengkap bersumber dari survei besar yang sifatnya nasional mengenai peran/partisipasi pria dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi baik langsung maupun tidak langsung. Data atau informasi yang ada kebanyakan bersifat studi kecil yang sifatnya terbatas, baik berupa survei, studi kasus, pengamatan/ observasi di beberapa propinsi dengan berbagai sasaran yaitu pria kawin, pria belum kawin/ belum nikah, isteri, TOMA, TOGA, LSOM, provider pemberi pelayanan dan pengelola program.
Analisis berupa pengkajian dari data yang ada belum menyeluruh dan baru dilakukan di beberapa propinsi, yaitu :
DKI Jakarta, D.I.Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, D.I. Aceh, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan propinsi proyek Bank Dunia (Jawa Tengah dan Jawa Timur).

2 - Cukilan Data No. 252 - Tahun XXX - 2003
Beberapa isu penting yang berkaitan dengan peningkatan partisipasi pria dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi antara lain sebagai berikut:

1. Rendahnya Kesertaan pria dalam Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi
Ditinjau dari aspek kesertaan ber-KB, penurunan angka kelahiran sebesar 50% dari 5,6 anak pada tahun 1970 menjadi 2,7 anak tahun 1997, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar merupakan partisipasi aktif para perempuan. Hal ini berkaitan dengan kebijakan program/komitmen politis yang dikembangkan selama ini masih sangat bias gender antara lain alat kontrasepsi yang tersedia dan sasaran advokasi/KIE lebih banyak diarahkan untuk perempuan.
Masih sangat rendahnya kesertaan KB pria di Indonesia terlihat dari keikutsertaannya yang baru mencapai sekitar 1,1%, yakni kondom 0,7%, vasektomi 0,4% (SDKI, 1997). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa pola pencapaian peserta KB pria terjadi sedemikian rupa dan salah satu sebab utamanya adalah karena faktor perhatian program yang pada waktu itu kurang terfokus kepada pria, selain itu pria juga tidak memiliki akses yang mudah untuk pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, serta diperkuat dengan dominasi pria yang selama ini beranggapan urusan keluarga berencana dan masalah reproduksi adalah urusan perempuan. Oleh sebab itu, semenjak tahun 2000 pemerintah secara tegas telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan partisipasi pria dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi melalui kebijakankebijakan yang telah ditetapkan. Didalam mengkaji partisipasi
pria para pengelola seyogyanya dapat memahami faktor-faktor yang berpengaruh dengan mempelajari hambatan yang ada, mulai dari jajaran lebih tinggi yaitu, komitmen politis, penerapan kebijaksanaan, dukungan jaringan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi (tenaga, sarana, prasarana), sosial budaya, agama dan sebagainya. Hasil penelitian tentang Penerimaan Keluarga Berencana Pada Suami di Daerah Kota dan Desa di 3 propinsi (Mantra, dkk, 1994) merekomendasikan bahwa peran suami dalam keluarga berencana jangan hanya dilihat dari status pemakaian kontrasepsi. Faktor komunikasi suami-isteri menyangkut pemakaian alat kontrasepsi, tempat mendapatkan pelayanan, lama pemakaian, efek samping dan siapa yang harus menggunakan kontrasepsi perlu menjadi pertimbangan pihak pengambil keputusan. Hasil analisis lanjut SDKI-1997 memberikan laporan cukup menarik tentang komunikasi/keputusan suami-isteri dalam hal keluarga berencana. Diskusi pasangan justru memberikan pengaruh negatif terhadap penggunaan vasektomi, hal ini terjadi karena dalam diskusi cara KB pria tidak termasuk dalam alternatif pilihan yang dibahas suami-isteri, kemungkinan karena ketidaktahuan mereka. Adanya dominasi gender dalam pengambilan keputusan menyebabkan isteri tidak mampu mengelak bila suami meminta isterinya memakai alat kontrasepsi dan diperkuat adanya anggapan keluarga berencana dan urusan melahirkan adalah tanggungjawab kaum perempuan (Suprihastuti, dkk, 2000) Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Puslitbang Biomedis dan Reproduksi Manusia (1999) di DKI Jakarta dan D.I.  Yogyakarta, terlihat adanya beberapa faktor utama yang menyebabKan rendahnya peran pria dalam pemakaian kontrasepsi, yaitu kurangnya informasi tentang metode kontrasepsi pria, terbatasnya jenis kontrasepsi pria yang ada dan terbatasnya tempat pelayanan KB pria, serta komitmen pemerintah yang belum tepat dan banyaknya rumor yang berkembang negatif tentang kontrasepsi pria. Di samping itu juga dari sebagian besar ibu/isteri tidak mendukung dan merasa khawatlr bila suaminya berkontrasepsi.

Temuan penelitihan dari LDFE-Ul (1998), menurut hasil regresi logistik bahvva faktor-faktor diterminan sosial budaya yang mempengaruhi kesertaan kontrasepsi mantap pria adalah KIE. Sementara temuan kualitatif menyimpulkan bahwa hambatan pria berkontrasepsi antara lain disebabkan terbatasnya informasi alat kontrasepsi pria dan pelayanan yang diberikan.

Adanya persepsi alat kontrasepsi yang mengurangi kepuasan hubungan seksual, persepsi budaya yang negatif bahwa keluarga berencana pria hanya untuk pria yang melakukan hubungan seksual di luar nikah, persepsi isteri/keluarga terutama terhadap vasektomi, mahalnya pelayanan vasektomi, dan kurangnya minat pria.

Sementara menurut temuan Suprihastuti, dkk (2000) menyebutkan bahwa penggunaan vasektomi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, agama, diskusi pasangan, pilihan suami, kesamaan jumlah anak yang diinginkan antara suami isteri, wilayah (desa/kota) dan kemudahan/keterjangkauan sarana dan prasarana. Secara khusus Studi di propinsi Jawa Barat dan Sumatera Selatan (2001) memaparkan, penyebab rendahnya pria berkeluarga berencana sebagian besar disebabkan oleh factor keluarga, antana lain isteri tidak mendukung, adanya rumor di masyarakat, kurangnya informasi metoda keluarga berencana pria dan terbatasnya tempat pelayanan. Sedangkan keterbatasan jenis kontrasepsi bukan merupakan alasan utama.

2. Masih Rendahnya Pengetahuan dan Kesadaran Pria Terhadap KB dan Kesehatan Reprroduksi
Hal mendasar dalam pelaksanaan pengembangan program partisipasi pria untuk mewujudkan keadilan dan  kesetaraan gender adalah dalam bentuk perubahan kesadaran, sikap dan perilaku pria/suami maupun isterinya tentang keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Dari pengamatan berbagai survei di beberapa propinsi, tingkat pengetahuan pria terhadap keluarga berencana secara umum terlihat masih rendah, berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain :pendidikan, pekerjaan, keterpaparan media masa, kondisi lingkungan, pengalaman menggunakan alat kontrasepsi dan faktor-faktor lainnya.

Hasil studi kualitatif Focus Group Discussion (FGD), di DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta (1999), memperlihatkan bahwa sebagian besar pria mengetahui tujuan keluarga berencana, yaitu untuk mengatur kelahiran, membentuk keluarga yang bahagia serta menyadari bahwa keluarga berencana itu penting. Hasil yang relatif sama dijumpai dari temuan studi di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (2001) terhadap 393 pria kawin, bahwa pengetahuan pria tentang pengertian dan tujuan keluarga berencana pada umumnya cukup baik meskipun belum semua dapat menerangkan secara jelas. Lebih dari separoh responden menyatakan bahwa program keluarga berencana bermaksud untuk mengatur jarak kelahiran, mencegah kehamilan dan untuk membatasi kelahiran.

Hasil studi di D.I. Yogyakarta (1999) mengungkapkan bahwa pengetahuan pria mengenai kontrasepsi yang meliputi jenis, efek samping, efektivitas, cara penggunaan, tempat mendapatkan alat kontrasepsi, manfaat, dan lain-lain masih sangat rendah. Menurut hasil studi di propinsi Jawa Barat dan Sumatra Selatan (2001), jenis alat kontrasepsi yang paling umum diketahui adalah pil, suntikan dan IUD, sedangkan di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (2001), lebih bervariasi yaitu : pil, suntikan, kondom, MOP, MOW, Implant/Susuk KB, Intravag/diafragma/foam/jelly dan senggama terputus.
Pengetahuan tentang efek samping pemakaian alat kontrasepsi menunjukkan bahwa sebagian besar pria tidak mengetahuinya. Efek samping kontrasepsi terbanyak yang diketahui adalah pil (28,8%), suntikan (24,9%), IUD (15,3%) kondom (6,1%) dan vasektomi (4,3%), hasil studi di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, 2001. Pengetahuan tentang efek samping vasektomi, sebagian besar menyatakan bahwa vasektomi menyebabkan kelainan libido (58,8%), mengalami abses (5,9%), efek samping lainnya (29,4%). Dari hasil FGD, dan penelitian yang sama tentang keluhan/rumor libido sama sekali ditepis oleh peserta vasektomi (tidak benar), karena sebelum mereka menjadi peserta KB-MOP pernah mendengar rumor seperti itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rumor tersebut beredar umumnya dari mereka bukan peserta KBMOP.

Hasil studi di propinsi Sumatera Selatan dan Jawa Barat (2001), rnenjelaskan bila isteri tidak cocok dengan salah satu alat keluarga berencana maka sikap atau tindakan yang dilakukan suami kepada isterinya sebagian besar (61,5%) menyarankan untuk ganti cara, 10.53% menyarankan untuk berhenti. Hanya 5% dari 418 responden yang menyadari agar pria pakai sendiri. Informasi ini memberikan indikasi kepada pria perlu dijelaskan cara pemilihan dan pemakaian kondom yang baik dan benar, begitu juga dengan MOP. Dilihat dari pengetahuan pria tentang kesehatan reproduksi (KR), ternyata belum banyak mendengar istilah KR dan pada umumnya tidak dapat menjelaskan. Pengetahuan tentang KR terbatas pada masalah kesehatan ibu dan anak, sementara tentang penyakit menular seksual (PMS) belum mengetahui dengan baik. Mereka mengetahui PMS sebagai penyakit  kelamin dan beranggapan bahwa PMS identik dengan penyakit HIV/AIDS. Keterbukaan masalah KR antara suami isteri seyogyanya masih perlu dipromosikan untuk mencapai ketahanan keluarga yang baik. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah melalui program peningkatan partisipasi pria telah memulai upaya melalui kegiatan peningkatan pengetahuan dan  kesadaran pria/suami untuk membangun sikap positif tentang keluarga berencana dan peran suami dalam kesehatan reproduksi melalui intensitas dan kualitas promosi dengan penekanan kepada “pria yang bertanggung jawab”.

Hasil studi yang dilakukan oleh LD–Ul (1998) terhadap akseptor kontrasepsi mantap (kontap) menerangkan bahwa umumnya akseptor menggunakan kontap karena tidak ingin menambah anak lagi, di samping alasan kesehatan dan alasan ekonomi  yang turut mempengaruhi, karena keinginan adanya kesempatan mendidik anak. Sebanyak 48,5% responden yang sedang memakai alat kontrasepsi menyatakan memakai karena keinginan sendiri dan hanya 4,7% menyatakan atas anjuran isteri. Secana spesifik untuk peserta kondom dari studi yang dilakukan di D.I. Aceh (2000), sebesar 70% responden memilih kondom, karena murah, praktis, tidak ada pilihan lain. Studi lain mengungkapkan alasan menggunakan kondom karena sementara menunggu ber-KB, karena isteri tidak cocok, lainnya supaya lebih aman. Hal yang menarik di sini, ketika ditanyakan bila kondom diberikan secara gratis apa mereka mau pakai?,
Ternyata dijawab oleh 34,93% pria yang menyatakan tetap tidak mau pakai. Operasional riset yang dilakukan di D.I. Yogyakarta (2000),  telah dilakukan ujicoba/intervensi pengetahuan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi melalui media KIE, sarasehan dan buku saku terhadap responden di wilayah pedesaan. Dari hasil evaluasi, model ini cukup efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap, dimana terlihat adanya perubahan pengetahuan dan sikap yang positif. Pada awalnya para suami-isteri umumnya berpendapat bahwa vasektomi sama dengan kebiri. Dengan dilakukannya intervensi terjadi perubahan, meskipun masih ada yang tetap berpendapat demikian terutama dari mereka yang berpendidikan relatif lebih tinggi. Begitu juga terjadinya perubahan mengenai sikap bahwa sebaiknya yang menggunakan kontrasepsi adalah suami cenderung meningkat.

Studi di DKI Jakarta (1999) yang merupakan cerminan wilayah perkotaan, menyarankan bila intenvensi dilakukan, sebaiknya pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi bagi pria di tempat kerja. Di wilayah inipun punya pendapat yang tidak jauh berbeda dengan wilayah pedesaan (D.I. Yogyakarta), di mana sebagian besar atau tiga dari empat suami menyatakan bahwa yang baik berkontrasepsi adalah isteri. Alasan yang dikemukakan antara lain : memang sudah seharusnya isteri yang ber-KB, alat KB untuk perempuan lebih banyak jenisnya dan lebih mudah di dapat, tempat pelayanan untuk perempuan lebih mudah, pria tidak biasa ber-KB. Bila dilihat dari sudut pandang isteri/ibu, studi yang dilakukan oleh Sujana, dkk (1991) terhadap ibu hamil di DKI Jakarta menyatakan tentang siapa seharusnya sebagai akseptor KB, sebagian besar menyatakan sebaiknya isteri/ibu. Sedangkan yang menyatakan suami hanya 6,3% dan yang menjawab sebaiknya bergantian suami-isteri 18%. Bila dilihat lebih jauh dari responden yang berpendapat sebaiknya ibu yang ber-KB, sebagian besar dinyatakan oleh ibu pada kelompok usia lebih dari 30 tahun, pendidikan rendah dan jumlah anak lebih dari 3 orang.

Studi di D.I. Aceh yang di lakukan di tiga kabupaten secara kuantitatif dan kualitatif (indepth intenview) dengan tujuan untuk mengembangkan model agar para pria lebih berperan serta baik sebagai akseptor KB maupun memberi peluang lebih banyak kepada isteri mereka. Dari kelompok pria yang tidak ber-KB, memberi alasan tidak perlu pembatasan anak. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa keluarga berencana bukan hanya untuk pembatasan anak, tetapi juga untuk pengaturan kelahiran. Pernyataan ini setelah dikontrol, ternyata 20% dari mereka yang menyatakan tidak perlu mengemukakan alasannya karena malu dan 18% karena tidak ada yang melayani. Kemudian ada yang menyatakan karena ada yang melarang (20%) dan 16,6% menyatakan karena alasan rasa takut dan tidak lazim. Alasan kenapa peserta KB pria sedikit juga terungkap dari studi ini. Dari 66 responden, 24% menyatakan karena minimnya informasi keluarga berencana pria dan 20% menyatakan bahwa keluarga berencana urusan perempuan/isteri.

Banyak studi yang menjelaskan bahwa kondom lebih dapat diterima dibandingkan dengan vasektomi. Sulit diterimanya vasektomi terutama adalah karena alasan takut operasi, munculnya rumor bahwa vasektomi menurunkan libido sama dengan dikebiri, serta alasan agama. Akan tetapi berdasarkan studi tentang Pengembangan Model Peningkatan Penerimaan Vasektomi (2001) di tiga kabupaten, yaitu Jombang, Trenggalek dan Pamekasan propinsi Jawa Timur tampaknya tidak demikian. Ternyata vasektomi dapat diterima pada seluruh tingkatan pendidikan mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dan seluruh tingkat sosial ekonomi dan jenis pekerjaan. Vasektomi dapat diterima keluarga bila ada persetujuan kedua belah pihak. Selanjutnya dari penelitian ini, bila dilihat dari latar belakang pemakai vasektomi mempunyai riwayat sering mengalami efek samping atau komplikasi dalam pemakaian kontrasepsi, sehingga ada pertimbangan untuk ikut vasektomi. Bila dilihat dari perilaku kesehatan reproduksi, sebagian besar pria (58,1%) sudah mulai memberikan perhatian terhadap perencanaan kehamilan yang sehat dan aman. Kepedulian suami terhadap gangguan kehamilan dapat dikatakan sudah cukup baik. Sebagian besar suami menganjurkan isteri memeriksakan kehamilan. Hampir 80% mengatakan pernah mengantarkan istri periksa terutama pada kehamilan pertama. Umumnya istri lebih sering ke puskesmas sendiri atau bersama teman perempuan baik untuk berobat penyakit, maupun periksa  kehamilan. Para isteri sepertinya lebih terbiasa mandiri dalam merawat dirinya, tidak tergantung kepada suami. Peran di dalam persiapan melahirkan sudah cukup baik dimana suami memberikan perhatian yang cukup kepada isteri, menyiapkan dana, memilih tempat persalinan dan menyiapkan kendaraan. Dalam hal kesehatan seksual, terdapat 12,3% suami melakukan hubungan suami-istri pada masa nifas, 0,5% suami tidak tahu bahwa istrinya sudah menopause, sementara hubungan seksual secara baik sebagian besar tetap dilakukan meskipun isteri sudah menopause.

3. Kondisi Politik, Sosial, Budaya Masyarakat dan Agama Masih Belum optimal
Perlu diakui bersama bahwa selama ini komitmen politis dalam program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi masih tertuju kepada perempuan/istri, sementara pria/suami masih belum tersentuh. MOP atau KONTAP pria sebagai salah satu dari dua cara KB pria masih menjadi bahan perbincangan dan perdebatan yang masih terus berlangsung. Tampaknya keputusan masih belum final dan belum seperti yang diharapkan. Keputusan sementara yang diketahui masyarakat adalah MUI setuju terhadap kontap sebagai cara keluarga berencana, jika dalam keadaan darurat, sedangkan cara KB pria berupa kondom tampaknya tidak masalah. Hasil penelitian di D.I. Yogyakarta, Jawa Barat dan Sumatera Selatan, menggambarkan bahwa masih ada perbedaan pendapat diantara para ulama, ada yang memperbolehkan (adanya fatwa) dan ada yang tidak memperbolehkan. Pendapat senada tergambar dari temuan penelitian di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur (2001) dan D.I. Aceh (2000) melalui wawancara mendalam terhadap TOMA/TOGA memperlihatkan bahwa pada prinsipnya dapat menerima KB sebagai alat untuk menjarangkan dan mengatur kelahiran, tetapi kurang setuju bila KB untuk membatasi jumlah anak. TOGA/TOMA mengutarakan bahwa diperlukan alat kontrasepsi pria yang sifatnya tidak permanen, seperti pil, suntik, dan ada pula yang mengatakan setuju dengan MOP asalkan dapat direkanalisasi yang artinya memungkinkan untuk masih punya anak lagi. Bila dilihat dari sikap masyarakat terhadap MOP, ternyata ada yang masih ragu, sekalipun sudah ada kesepakatan MUI secara tegas menyatakan MOP diperbolehkan, jika dalam keadaan darurat. Disini mungkin perlu dijelaskan keadaan darurat yang dimaksudkan sehingga peserta betul-betul faham dan secara sukarela menggunakannya. Suatu penelitian tentang KONTAP di propinsi Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat oleh LD-Ul (1998) memaparkan hasil yang cukup menggembirakan, hanya 6% yang berpendapat vasektomi kurang atau tidak sesuai dengan ajaran agama. Hasil studi ini menyarankan alternatif penyuluhan/KIE untuk kontrasepsi pria dapat dilakukan dengan menggerakkan tokoh masyarakat, tokoh agama dan atau kelompok-kelompok profesional lainnya (LSOM), yaitu dengan menggalang kemitraan dan kebersamaan dengan sektor, institusi tempat kerja, organisasi profesi, Toma/Toga, LSOM terkait di semua tingkatan. Oleh karena itu perlu adanya komitmen bersama secara nasional mengenai KONTAP, sehingga keraguan dari berbagai pihak masyarakat maupun pelaksana dapat teratasi dan KONTAP dapat lebih diterima secara luas.       

Bila ditinjau dari kondisi sosial ekonomi, hasil studi Pusat Kajian Pembangunan Atmajaya bekerjasama dengan Puslitbang Biomedis & Reproduksi di DKI Jakarta (1999), menyatakan bahwa tingkat pendapatan suatu keluarga sangat berpengaruh terhadap kesertaan suami dalam ber-KB. Bila PUS keduanya bekerja, isteri mempunyai penghasilan sendiri maka kesadaran pria untuk ber-KB jauh lebih tinggi, dan disebutkan bahwa di DKI Jakarta faktor agama tidak menjadi penghalang, demikian halnya faktor keluarga. Dari pria ber-KB ternyata lebih dari separoh menyatakan keputusan ditentukan bersama antara suami-isteri. Untuk meningkatkan partisipasi pria, masih harus lebih digiatkan promosi tentang pelayanan KB pria, jenis kontrasepsi pria, dan tempat pelayanan KB pria. Di samping itu saran yang diajukan perlunya penjelasan KB pria di tempat kerja. Untuk meningkatkan pemakaian kondom, disarankan agar kualitas ditingkatkan dan mudah didapat. Hambatan yang datangnya dari keluarga/istri dalam
pengembangan partisipasi pria terjadi di pedesaan. Sekitar 70% rnenurut penuturan suami di D.I. Yogyakarta bahwa istri tidak setuju/tidak rela suami ikut KB dengan alasan kasihan karena suami mencari nafkah, merasa khawatir suami
nyeleweng, takut adanya efek samping terutama penurunan libido, meskipun ada beberapa di antaranya yang setuju dan tidak apa-apa. Bila ditinjau dari segi pendidikan, menurut hasil analisis lanjut SDKI 1997 (Suprihastuti, dkk, 2000) ternyata “pendidikan” berpengaruh negatif terhadap pemakaian vasektomi, sementara wilayah (desa) memberikan pengaruh positif. Mereka yang berpendidikan tinggi cenderung memilih kondom. Secara statistik ternyata tingkat pendidikan berpengaruh secara bermakna terhadap pemakaian kontrasepsi pria. Begitu juga dalam hal pekerjaan, semakin tinggi tingkat pekerjaan atau status sosial maka semakin tinggi tingkat kesertaan ber-KB. Hal yang sama juga terlihat pada variabel tingkat pendapatan responden. Di samping 3 variabel tersebut, faktor penentu keikutsertaan KB pria adalah sosialisasi alat kontrasepsi pria, penggunaan dan efek samping, persepsi dan sikap istri terhadap alat KB pria, peran TOMA/TOGA dan mutu pelayanan KB serta jarak tempat pelayanan. Menurut temuan studi yang dilaporkan oleh IDI propinsi Jawa Timur (di 3 kabupaten) menyatakan bahwa vasektomi dapat diterima oleh semua tingkatan pendidikan dan sosial ekonomi.    Bila dilihat dari segi usia, umur pemakai alat kontrasepsi pria cenderung lebih tua dibanding yang lain. Indikasi ini memberi petunjuk bahwa kematangan pria juga ikut mempengaruhi untuk saling mengerti dalam kehidupan keluarga. Disamping itu, studi ini mengungkapkan adanya kecendrungan pria enggan berkontrasepsi pada pasangan yang mengalami kematian anak (Suprihastuti, 2000).

Ditinjau dari sudut keadaan sosial dan budaya, menurut pandangan TOMA/TOGA keterlibatan suami/pria dalam KB adalah untuk memberikan kesempatan kepada istri untuk istirahat. Tetapi untuk ikut MOP masyarakat masih belum banyak yang berminat dan TOMA kurang menganjurkan karena situasi yang belum mendukung. Sedangkan  keterlibatan suami/pria dalam kesehatan reproduksi, ketidak perhatian kaum suami terhadap istri mereka yang sedang hamil atau paska persalinan, disebabkan karena kesibukan mereka mencari nafkah. Menyimak hasil regresi logistik tentang faktor-faktor Sosial, Ekonomi dan Budaya yang mempengaruhi pemakaian KONTAP pria dari temuan penelitian yang dilakukan oleh LDUI (1998) membuktikan bahwa faktor status kerja dan KIE sangat menentukan dalam pemakaian kontap pria. Selanjutnya studi ini menerangkan bahwa nilai budaya seperti pandangan terhadap banyak anak banyak rejeki, preferensi jenis kelamin anak, dan pandangan agama yang dianut, secara inferensial tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Menurut penjelasan yang disampaikan oleh Bidan dari temuan  studi Sumodinoto, dkk (1999) di propinsi Sumatera Barat dan Sumatera Selatan menyatakan bahwa hampir semua TOMA
dan suami yang ada di wilayah penelitian ini belum bisa menerima KB pria terutama vasektomi, karena agama tidak memperbolehkan, kecuali bila cara KB lainnya bisa mengancam jiwa istri. Hal yang serupa juga disampaikan oleh PLKB, bahwasanya menurut pendapat pria di wilayahnya bila pria dikontap, tidak perkasa lagi, jika nyeleweng tidak ketahuan, KB itu urusan ibu-ibu. Selain itu, seperti yang dituturkan oleh sebagian ulama bahwa kontap belum diprogramkan dan dianggap haram, kecuali bila terdesak misalnya anak sudah banyak dan tidak satupun metode KB yang cocok.

4.     Keterbatasan Pilihan Metoda Kontrasepsi Pria dan Ketersediaan Dukungan Jaringan Pelayanan KB dan KR lainnya
Penyiapan berbagai ragam kontrasepsi agar klien dapat memilih cara/alat/metode yang sesuai dengan keinginan dan
kemampuan merupakan hal yang sangat menjadi perhatian pemerintah dalam rangka mewujudkan pelayanan KB yang berkualitas (kafetaria sistem). Kontrasepsi yang ditujukan kepada isteri dapat dikatakan sudah memenuhi kafetaria sistem karena telah tersedia berbagai macam metode KB, tetapi untuk kontrasepsi pria ternyata tidak demikian, jenis kontrasepsi yang tersedia hanya ada dua macam, yaitu kondom dan vesektomi (Medis Operatif Pria/MOP). Masalah keterbatasan pilihan kontrasepsi bagi pria seringkali menjadi alasan utama yang dikemukakan mengapa kesertaan pria dalam KB rendah. Dari temuan berbagai penelitian di lapangan, banyak dari mereka mengharapkan adanya alternatif kontrasepsi lain bagi pria seperti bentuk pil, suntikan atau lainnya. “Pilihan Cuma dua … yang satu gampang bocor dan ribet dan yang satu lagi menakutkan karena ada operasinya …… Kalau hanya dua, … itu namanya bukan pilihan … “ (Kutipan informan pria melalui studi kualitatif FGD di Jawa Tengah)

Kondom sebenarnya merupakan salah satu metoda kontrasepsi yang efektif dalam pemakaian temporer, namun berbagai penelitian terungkap ada beberapa hal yang menghambat popularitas kondom antara lain : masih banyak dikaitkan dengan norma, kultur masyarakat dan pengunjung ke klinik mayoritas wanita yang bukan pemakai langsung kondom. Vasektomi (MOP) atau disebut juga dengan Kontap Pria telah dikenal secara luas di dunia sejak akhir abad 19. Di Indonesia, vasektomi sejak tahun 1970 telah menjadi sebagian dari program KONTAP (Kontrasepsi Mantap). Disebutkan vasektomi sebagai kontap karena beberapa sifat yang dipunyai, yakni efektif, aman, murah dan mudah. Pada kenyataannya penerimaan masyarakat akan vasektomi masih rendah. Hambatan yang utama adalah karena pandangan dari segi agama dan disinyalir ada hubungannya dengan tehnik operasi yang digunakan, yaitu menimbulkan rasa takut. Sebenarnya cara KB pria yang telah dikembangkan ada yang melalui pendekatan hormonal, farmakologis dan immunologis (Alexander, 1986, Arsyad, 1986, Ansbachter, 1975 dalam Soebadi, 2000). Akan tetapi cara-cara baru yang pernah diteliti memerlukan penelitian lebih lanjut dan membutuhkan waktu lama dan tampaknya menurut beberapa pakar memerlukan waktu 10 atau 15 tahun lagi sebelum dapat dilaksanakan dalam program KB. Sistem reproduksi pria tampaknya lebih rumit untuk diatur, tidak seperti sistem reproduksi perempuan. Hal inilah menjadi salah satu sebab kenapa jenis kontrasepsi pria berkembang sangat lamban, dan diperkirakan dalam waktu dekat ini tampaknya masih belum ada penambahan pilihan jenis kontrasepsi pria yang mendekati cara ideal. Melihat kondisi ini, patut dipikirkan upaya-upaya promosi dengan pendekatan kualitas pelayanan untuk meningkatkan partisipasi aktif pria dalam KB, mengingat penambahan alternatif metode KB pria lainnya yang ditunggu perlu waktu yang lama serta dana yang tidak sedikit untuk pengembangannya. Hasil studi Peran Pria di D.I. Yogyakarta dan DKI Jakarta melalui studi kualitatif FGD (1999) memaparkan pandangan dari provider pemberi pelayanan (dokter dan bidan) adanya hambatan sebagai pemberi pelayanan antara lain merasa tidak ada perlindungan secara legal, khususnya apabila melakukan pelayanan vasektomi. Beberapa provider menyambut baik KB  pria, tapi dalam prakteknya masih adanya keragu-raguan. Menurut mereka untuk meningkatkan kesertaan KB pria, perlu waktu lama dan upaya terus menerus (motivasi) kepada masyarakat. Banyak provider berpendapat bahwa tidak mudah menganjurkan pemakaian KB pria terutama di daerah tertentu, karena adanya pemahaman yang negatif khususnya untuk MOP. Hasil studi dari LDFE-Ul (1998), puskesmas merupakan pilihan pertama untuk mendapatkan kondom karena gratis dan jaraknya dekat, kedua adalah PLKB, karena faktor kedekatan dengan petugas untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap. Sedangkan toko, warung dan apotik merupakan tempat pilihan ketiga untuk memperoleh kondom karena alasan bebas memilih dan tidak ingin diketahui orang.

5. Aksesabtitas Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Bagi Pria Masih Sangat Terbatas
Aksesabiltas informasi, KB dan KR baik media KIE, konseling yang tersedia, informasi yang diberikan oleh petugas, tempat pelayanan yang ada masih bias gender. Bila dilihat dari gambaran pria tentang informasi KB dan KR yang diterima berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (2001) tercermin bahwa sebanyak 67,2% menyatakan penjelasan tentang KB diterima dari petugas KB, dari dokter (13%), dari Tokoh Agama (9,7%). Bidan memberikan peran yang cukup tinggi setelah PLKB dan pesan KB melalui bidan biasanya disampaikan kepada klien terutama pada pasca persalinan. Peran Pamong Desa, tetangga, saudara, serta isteri tidak dapat diabaikan. Mereka cukup berperan dalam menyampaikan informasi KB. Temuan kuantitatif ini didukung pula dari temuan kualitatif hasil fokus group diskusi, sebagian besar menyatakan yang memberikan penjelasan tentang KB bagi mereka adalah petugas KB, bidan, tetangga, teman dan isteri. Media TV merupakan sumber informasi KB yang paling dominan diketahui di kalangan responden yang berada baik di perkotaan maupun di perdesaan, kemudian diikuti dengan media radio, majalah, poster, pamlet, leaflet dan booklet. Sementara itu, untuk kontrasepsi pria pada umumnyamenyatakan bahwa sebagai sumber informasi adalah petugas KB, media TV & Radio, bidan dan Pamong Desa. Sedangkan media cetak seperti koran, majalah dan poster memberi kontribusi terhadap pengetahuannya mengenai kontrasepsi pria. Tentang sumber informasi yang paling disukai dalam kaitannya dengan penggunaan media massa sebagai sumber pengetahuan, sarana, pembentukan sikap dan perilaku ber KB, adalah melalui TV, diikuti oleh media cetak seperti majalah, poster dan pamlet. Penjelasan responden tentang tempat memperoleh pelayanan KB pria secara berturutan adalah rumah sakit pemerintah, puskesmas dan RS swasta.Penelitian yang dikoordinasi oleh PUBIO BKKBN (1999) dengan Universitas Atmajaya merekomendasikan penyiapan model pendekatan partisipasi pria ditempat kerja untuk wilayah perkotaan, sementara dari Universitas Muhammadiyah (D.I.
Yogyakarta) merekomendasikan pendekatan melalui sarasehan untuk wilayah pedesaan. Namun tidak ada salahnya
pendekatan ditempat kerja dapat dilakukan di pedesaan terutama kepada petani-petani di tempat kerja seperti yang diusulkan oleh beberapa provider di Jawa Tengah. Adanya kemudahan dan ketersediaan sarana pelayanan ternyata berdampak positif terhadap penggunaan suatu alat kontrasepsi. Peningkatan peluang terjadi karena faktor wilayah. Tiga perempat peserta MOP berada di wilayah Jawa Bali, hal ini berkaitan erat dengan jaringan informasi dan pelayanan KB yang lebih banyak terfokus di wilayah Jawa-Bali (Suprihastuti, 2000).

Disinyalir adanya perbedaan persepsi tentang istilah yang digunakan pengelola dengan pemahaman masyarakat. Pengelola menganggap metode kontrasepsi yang mudah dan praktis adalah metode yang hanya sekali pasang. Sedangkan masyarakat menganggap bahwa kontrasepsi yang mudah dan praktis adalah kontrasepsi yang dapat diperoleh dimana saja tanpa menyulitkan dan melibatkan orang lain. Begitu juga dengan istilah MOP (medis operasi pria) sering menakutkan masyarakat, sehingga menjadi hambatan dalam sosialisasinya.

6. Kualitas Pelayanan KB Pria Masih Belum Memadai
Salah satu isu penting yang perlu dikemukakan adalah masalah kualitas pelayanan KB pria di lapangan, dilihat dari berbagai sasaran, yaitu klien, provider dan pengelola program. Dari segi keamanan dan kenyamanan pemakaian, diantara dua metode kontrasepsi yang ada, metode MOP lebih banyak mengalami gangguan kesehatan dibandingkan kondom yang pada umumnya tidak banyak dikeluhkan. Temuan penelitian di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur
(2001) memperlihatkan bahwa pemakai kondom tidak pernah mengalami gangguan kesehatan. Sedangkan MOP, sebesar 16,6% dari 137 responden menyatakan adanya gangguan kesehatan, yaitu timbul rasa nyeri, abses pada luka. Bagi peserta kondom 3 dari 4 responden menyatakan bahwa kondom harganya mahal, merepotkan dan tidak nyaman. Sedangkan penelitian di Nanggroe Aceh Darussalam mengeluhkan pemakaian kondom dalam negeri karena kurang nyaman, tebal dan riskan/khawatir, keadaan ini juga dijumpai di propinsi DI Yogyakarta dan DKI Jakarta. Mengenai KIE dan konseling cara KB pria, terihat bahwa lebih dari separuh dari mereka memperoleh informasi tentang keuntungan dan kerugian alat kontrasepsi pria sebelum pelayanan diberikan, yaitu berupa penyuluhan yang diberikan
oleh pretugas KB, dokter, bidan. Materi konseling tampaknya belum menyeluruh diberikan dan ada yang sama sekali tidak mendapatkan konseling. Informasi mengenai efek samping paling banyak diberikan, menyusul tentang tempat pelayanan, cara pemakaian dan tempat rujukan. 

Studi Analisis Situasi (1994) melaporkan dari hasil observasi konseling antara provider dengan klien pada umumnya cara KB pria tidak diperkenalkan, pada umumnya hanya memperkenalkan kontrasepsi tertentu, terutama metode kontrasepsi jangka panjang yang ditujukan kepada wanita. Studi Analisis Situasi Kualitas Pelayanan KB (1994) melaporkan sebanyak 72% klien KONTAP menyatakan puas atas pelayanan yang diterima, dan 29% menyatakan tidak puas. Hal tersebut diperkuat oleh temuan Joedo (1994) dimana 72% menyatakan puas, 3% tidak puas, 20% sedang-sedang saja,  dan 5% tidak tahu. Untuk mencapai kepuasan klien, dari beberapa penelitian dicoba mengungkapkan kebutuhan atau keinginan pria terhadap keluarga berencana dan kesehatan reproduksi sebagai berikut ini :

a.        Tempat pelayanan yang disukai
Tampaknya perhatian pria terhadap keluarga berencana sudah cukup tinggi, terlihat dari banyaknya usulan agar pelayanan KB diperluas. Tiga dari empat responden menyatakan perlu adanya tempat khusus pelayanan KB pria, alasan utama yang diungkapkan adalah untuk menjaga rahasia (privacy), lebih mudah mendapatkan pelayanan (hasil studi di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, 2001). Sedangkan temuan studi di D.I. Yogyakarta (1999) dan D.I. Aceh menyebutkan bahwa responden menginginkan tempat pelayanan khusus yang berada disatu klinik/puskesmas. Studi di propinsi Jawa Tengah  dan Jawa Timur (2001), menyatakan bahwa pria perlu berpartisipasi dalam KB. Tempat yang paling disukai adalah dekat dengan rumah, dekat tempat bekerja, dengan transportasi mudah, biaya terjangkau, fasilitas lengkap, dilayani oleh tenaga yang ahli, ramah dan dapat menjaga privacy.

b.     Tenaga pelayanan yang diinginkan untuk KB pria
Dari mereka yang mengatakan bahwa pria perlu berpartisipasi, lebih dari separuhnya (57,1%) mengatakan perlunya tenaga medis pria yang melayani KB pria sementara yang menyatakan sama saja disampaikan oleh 34%. (Studi di propinsi Jawa Tengah, .lawa Timur, 2001). Pernyataan tentang tenaga medis pria tersebut didukung oleh pendapat TOMA dari lokasi yang sama yang menyatakan bahwa perlu kiranya tenaga pria yang melayani KB pria, baik dalam hal KIE dan pelayanan medis. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan kelancaran komunikasi antara pemberi pelayanan dengan klien dan tidak merasa sungkan atau malu.

c.     Metoda kontrasepsi yang disukai
Pada umumnya kaum bapak tidak dapat mengungkap kontrasepsi mana yang paling mereka sukai untuk dipakai oleh
isteri maupun ia sendiri karena ketidaktahuannya. Temuan hasil kualitatif (FGD, di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, 2001), hanya sebagian kecil yang mengemukakan pendapatnya tentang pilihan mayoritas masyarakat di sekitarnya mengenai alat kontrasepsi. Pilihan alat kontrasepsi yang disukai masyarakat terlihat berbeda antara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pilihan alat kontrasepsi di propinsi Jawa Tengah adalah pil dan IUD, sementara itu masyarakat di propinsi Jawa Timur lebih memilih suntikan dan implant (susuk KB). Untuk perbaikan pelayanan KB pria, berbagai studi di beberapa propinsi menghendaki ada pilihan kontrasepsi selain kondom dan vasektomi, yaitu berupa pil atau suntikan.

d.     Bentuk KIE KB yang diinginkan
Dalam upaya meningkatkan peran pria, temuan hasil kualitatif FGD di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, memberikan gambaran bahwa sebagian besar pria menginginkan penyuluhan KB khusus untuk pria. Substansi KB yang dlinginkan adalah tentang berbagai jenis alat kontrasepsi pria dan efek samping kontrasepsi. Bentuk pertemuan yang diusulkan adalah pertemuan RT, bersamaan dengan kegiatan arisan bapak-bapak setiap bulan dan penyuluhan sebaiknya oleh petugas KB, bidan desa dan dokter, serta aparat kelurahan. Dalam hal substansi KIE KB, ada yang menyarankan tentang medis operasi pria, biaya dan tempat pelayanan. Sel;ain itu materi lain yang diperlukan adalah tentang manfaat KB, efek samping KB, sumber pelayanan KB dan biaya pelayanan KB.


e.     Bentuk KIE kesehatan reproduksi yang diinginkan
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pemahaman mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi masih sangat rendah. Hasil kualitatif FGD dari berbagai kelompok bapak maupun ibu di propinsi Jawa Tengah tidak dapat terungkap opini mereka tentang kebutuhan KIE Kesehatan Reproduksi. Dari pengamatan di beberapa propinsi tidak semua pria/suami tertarik dengan masalah kesehatan reproduksi, karena masalah ini diserahkan kepada istri. Jenis materi kesehatan reproduksi yang dibutuhkan bervariasi, ada yang menginginkan perawatan kehamilan, ada yang memerlukan materi kenakalan remaja dan narkoba. Sementara itu ada pula yang menyarankan materi tentang bahaya, penyebab penyakit kelamin dan pencegahannya.

Sasaran yang paling tepat dalam penyampaikan materi KR adalah melalui forum remaja mesjid, pengajian remaja dan
karang taruna. Media yang digunakan adalah melalui poster yang memuat gambar menarik. Beberapa substansi yang
disarankan tentang Kesehatan Reproduksi adalah arti kesehafan reproduksi, cara-cara pergaulan remaja yang sopan,
serta bagaimana mengarahkan menjadi anak yang baik. Sasaran penyuluhan materi Kesehatan Reproduksi adalah masyarakat secara luas termasuk para remaja.

7. Penerapan Program Kebijakan Partisipasi Pria Di Lapangan Masih Belum Optimal
Kebijakan formal tentang peningkatan partisipasi pria tentang keluarga berencana dan kesehatan reproduksi secara jelas baru terlihat semenjak dicanangkannya era baru program KB nasional tahun 2000. Kebijakan program peningkatan partisipasi pria masih relatif baru, sehingga penerapan di lapangan masih belum merata. Ada Wilayah yang sudah menerapkan kebijakan tersebut, ada yang baru disosialisasikan, ada yang sama sekali belum disentuh.

Hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh PUSNA dan PUSRA (2001) mengenai penerapan program peningkatan partisipasi pria dengan sasaran pengelola di tingkat kabupaten, kecamatan dan perdesaan di lokasi proyek Bank Dunia (propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur) menunjukkan bahwa menurut pengelola kebijakan peningkatan partisipasi pria dalam KB lebih difokuskan kepada pelayanan KONTAP pria. Pengembangan KONTAp pria dirasakan bergerak sangat lamban karena kaum pria masih takut dan belum atas kemauan sendiri. Hambatan lainnya timbul karena para pengelola di lapangan belum memiliki pedoman operasional dalam pengembangan KB khususnya pria. Begitu juga dengan program Kesehatan Reproduksi banyak pengelola program belum tahu secara jelas apa yang harus dilakukan dalam mensosialisasikan kesehatan reproduksi kepada kaum pria, karena belum ada pedoman maupun petunjuk teknis operasional dan belum ada ketegasan dari TOGA dan TOMA  boleh atau tidaknya MOP.







Daftar penelitian yang berkaitan dengan partisipasi pria dalam KB dan KR di Indonesia :
1.                    Studi Gender Peningkatan Peran Pria Dalam Penggunaan Kontrasepsi di DKI Jakarta, Pusat Kajian Pembangunan Univ. Atmajaya-BKKBN, 1999, di Wil. Jakarta Timur dan Jakarta Pusat

2.                     Studi Gender Peningkatan Peran Pria Dalam Penggunaan Kontrasepsi di D.I. Yogyakarta, FK-Univ. Muhammadiyah DIY, 1999, di Kab. Kulonprogo dan Gunungkidul

3.                     Studi Kualitatif (FGD) Peran Pria Dalam Penggunaan Kontrasepsi di DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta, PUBIO-BKKBN, 1999, di Wilayah Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Kab. Kulonprogo dan Gunungkidul

4.                     Analisis Data Sekunder SDKI 1977, Pengambilan Keputusan Penggunaan Alkon Pria di Indonesia, Suprihastuti, dkk-UGM DIY, 2000, di seluruh Indonesia

5.                     Survei Mutu Pelayanan Vasektomi Tanpa Pisau, PUBIO-BKKBN, 1998, di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan

6.                     Peningkatan Peran Komponen KIE Dalam GKBN (Hasil studi formatif tentang pendapat masyarakat tentang KR), Sumodinoto, dkk – P4K Depkes-PUBIO BKKBN, 1998, di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan

7. Tingkat Penerimaan KB pada Suami di daerah kota dan desa di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan NTT, Mantra, dkk-BKKBN-UGM, 2000, di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTT

8.                    Hasil Kuantitatif : Studi Identifikasi sasaran khalayak partisipasi pria dalam program KB dan KR, PUSRA-PUSNA BKKBN, 2001, di 10 Kab. 20 Kec. Proyek Bank Dunia Jawa Tengah dan Jawa Timur

9.                     Hasil kualitatif (FGD) : Studi indentifikasi sasaran khalayak partisipasi pria dalam KB dan KR, PUSRA-PUSNA BKKBN, 2001, di 10 Kab. Proyek Bank Dunia Jawa Tengah dan Jawa Timur

10. Analisis lanjut studi analisis situasi pelaksanaan pelayanan KB pada SDPS pemerintah di Indonesia, Adik Widodo-BKKBNPopulation Council, 1994, di 9 prop. : Jabar, Jateng, Jatim, Lampung, Sumsel, Sumut, Sumbar, Sulsel, NTB

11. Kontrasepsi pria dan wanita dimata ibu hamil, Sujana Jatiputra, Lukman Tarigan, 1992, di Wilayah Jakarta Timur, Jakarta Selatan

12. Pandangan Kiyai terhadap kontrasepsi mantap, Asyafatun Nardiah, 2001, di Lombok Timur (ponpes)

13. Studi identifikasi upaya peningkatan peran pria dalam KB dan KR di prop. Jabar dan Sumsel, PUSNA BKKBN, 2001, di Jawa Barat dan Sumatera Selatan

14. Studi operasional peningkatan peran pria dalam penggunaan kontrasepsi, PUSNA BKKBN, 2000, di D.I. Yogyakarta

15. Faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi pemakaian kontrasepsi mantap wanita dan kontrasepsi mantap pria, LDUIPULDU BKKBN, 1998, di Jawa Barat dan NTB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar